Jumat, 30 Maret 2012

Pasal 47: Menikah harus ada Wali, Saksi dan Mahar


PENJELASAN KITAB SYARHUS SUNAH (Imam Al Barbahari)
Oleh Bp. Bp. Agus Effendi, M.Ag.
Disampaikan dalam Kajian Malam Rabu Muhammadiyah Temanggung, tanggal 27 Maret 2012

PASAL 47
47. Tidak sah pernikahan kecuali harus dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil serta mahar baik sedikit atau banyak, barang siapa tidak mendapatkan wali maka pemimpin adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
Penjelasan :
Para ulama telah sepakat bahwa syarat sah nya menikah harus ada seorang wali, dua orang saksi dan mahar. Kaum Rafidah (syi’ah) menyelisihi kesepakatan tersebut. Mereka beranggapan bahwa boleh menikah tanpa wali dan saksi. Bahkan ketika mereka bertemu dengan seorang perempuan langsung dapat melangsungkan pernikahan, bahkan dapat menentukan jangka waktu pernikahan akan berlangsung, bisa satu tahun, satu bulan, bahkan bisa satu hari saja.
Dua orang saksi adalah jumlah minimal, bisa lebih banyak. Untuk mahar bisa sedikit bisa banyak tidak ada batasannya. Mahar adalah pemberian calon suami kepada calon istri, tidak boleh diberikan ke wali, kecuali atas ridho calon istri. Mahar bisa berupa benda wujud (seperti, uang, emas, binatang ternak dan lainnya) atau sesuatu yang abstrak (contoh hafalan surat dalam Al Qu’an). Mukmin (laki-laki) yang baik tentunya akan memberi mahar yang banyak jika mampu. Mukminah (perempuan) yang baik dia akan meringankan dalam menuntut mahar dari calon suaminya.
Rasulullah bersabda : “Seutama-utama wanita itu adalah yang tidak menuntut banyak atas mahar yang akan dibayarkan oleh calon suaminya.” Rasulullah telah memberi contoh mahar, pernah banyak dan pernah sedikit. Kepada Siti Katidjah, Rasulullah memberikan mahar 20 ekor unta (kira-kira Rp. 200.000.000,-). Tetapi ketika menikahi istri-istri yang lain Rasulullah memberikan mahar beberapa ratus dirham,ada yang 250 dirham (Rp. 250.000,-). Dari beberapa kesepakatan ulama mahar bisa dibayar tunai atau hutang, tetapi tetap wajib terbayarkan.
Dalam fiqih syarat nikah itu :
  1. Adanya wali, yang utama adalah yang dekat hubungan darah: ayah, , kakak/adik laki-laki, paman, kakek, kemudian baru wali hakim.
  2. Adanya akad yang jelas, saksi tahu kalau ia telah diakadkan
  3. Adanya ke ridho an seorang perempuan atas pernikahan itu.
  4. Adanya mahar, bisa banyak atau sedikit, tunai atau terhutang. 
 

Hadist riwayat Al Bukhari dan Muslim dari Sahl bin As-Sa’idi, bahwasanya ada seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah. Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, Nikahkanlah saya dengannya.” Kemudian Rasulullah berkata : “Kamu memiliki apa ?”. Dia menjawab : “Saya tidak memiliki apapun.” Kemudian Rasulullah bersabda : “Pergilah dan carilah walau sebuah cincin besi.” Kemudian laki-laki tersebut pergi dan kembali, kemudian dia berkata : “ Demi allah, saya tidak mendapatkan sesuatu walupun cincin dari besi, akan tetapi ini adalah sarungku, dan aku akan memberikan yang separuh kepadanya. Kemudian Sahl berkata: “Dia tidak memiliki sarung (lagi).”
Kemudian Rasulullah bersabda : “Apa yang dapat kamu perbuat dengan sarungmu ? Apabila engkau memakainya, maka dia tidak mendapat bagian sedikitpun darinya, dan apabila dia memakainya maka kamu tidak juga tidak akan mendapat bagian sedikitpun darinya.” Kemudian laki-laki itu duduk termenung, dan setelah lama duduk kemudian berdiri, dan Rasulullah melihat dan memanggilnya, dan kemudian bertanya :”Apa yang kamu miliki dari Al Qur’an ?” Dan dia menjawab :”Saya mempunyai (hafalan) dari surat ini dan ini.” Banyaknya surat yang disebut, kemudian Rasulullah bersabda : “Saya berikan (nikah) kamu dengan dia dengan apa yang kamu miliki dari Al Qur’an.”
Penjelasan :
Berarti laki-laki tersebut harus mengajarkan hafalannya kepada istrinya sampai hafal, dan mahar telah terbayarkan. Dari hadist ini dapat dilihat bahwa betapa ringannya mahar dalam pernikahan.
 Hadist dikeluarkan oleh Abu Daud, At Tarmidzi, Ibnu Majah dari ‘Aisyiyah : Rasulullah bersabda : “Seorang perempuan manapun yang menikah tanpa seijin walinya maka nikahnya adalah bathil (diucapkan sebanyak tiga kali), dan apabila suaminya telah mengaulinya maka mahar adalah haknya (perempuan) sebagai tebusan atas apa yang menimpanya, dan apabila mereka saling cecok, maka pemimpin (sultan, pemerintah, penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. Hadist ini di shohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’u Al-gholil.
Penjelasan:
Dari hadist diatas dapat dijelaskan bahwa seorang suami yang telah menggauli istrinya, jika terjadi perceraian, maka dia tidak boleh meminta maharnya kembali. Menurut kesepakatan ulama, mahar bisa diminta kembali jika terjadi perceraian dengan beberapa sebab yaitu :
  1. Suami itu belum pernah menggauli istrinya.
  2. Terjadi cela atau cacat diantara keduannya yang sengaja di sembunyikan, seperti cacat tubuh, sehingga salah satu pihak merasa tidak berkenan dan merasa tertipu.
Menurut para ulama, nikah yang diharamkan adalah :
  1. Nikah Shighor, nikah silangan. Nikah dengan bersyarat.
  2. Nikah Mut’ah, nikah kontrak (menikah dengan jangka waktu tertentu), dikembangkan oleh orang syi’ah. Dalam pandangan syi’ah, orang yang menikah mut’ah satu kali, maka dia punya derajat sama dengan Husain, nikah mut’ah dua kali punya derajat sama dengan Hasan, nikah mut’ah tiga kali derajatnya seperti sahabat Ali, nikah mut’ah empat kali derajatnya lebih tinggi dari derajatnya Nabi.
  3. Nikah al muhalal wal muhalil, al muhalal adalah seorang laki-laki telah menikah dan bercerai dan rujuk sebanyak 2 kali dan yang ke 3 kalinya dia tidak boleh rujuk dengan istrinya, kecuali istrinya telah nikah dengan laki-laki lain dan telah digaulinya, dan diceraikan tanpa bujukan atau tawaran imbalan dari suami yang dahulu. Wa muhalil adalah seseorang laki laki yang diperintahkan oleh seorang laki-laki yang telah menceraikan 3 kali istrinya, untuk menikahi seorang wanita yang telah dicerai 3 kali oleh suaminya, setelah menikah kemudian diceraikan agar dapat dinikahi suami yang dahulu.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar