Kamis, 22 Desember 2011

Penjelasan Syarhus Sunnah Pasal 27


PENJELASAN KITAB SYARHUS SUNAH  (Imam Al Barbahari)
Oleh Bp. Bp. Agus Effendi, M.Ag.
Disampaikan dalam Kajian Malam Rabu Muhammadiyah Temanggung, tanggal 13 Desember 2011
27
  Haji dan berjihad bersama imam terus berlanjut dan boleh shalat jum'at di belakang mereka,dan setelah itu melakukan shalat enam rakaat dengan cara salam setiap dua rakaat   sebagaimana pendapat imam Ahmad bin Hambal.

Penjelasan :
Dari keterangan diatas, bahwa Haji dan Jihad harus dikelola atau diperintahkan oleh penguasa/khalifah, tidak boleh jalan sendiri – sendiri. Keterangan : “setelah itu melakukan shalat enam rakaat dengan cara salam setiap dua rakaat   sebagaimana pendapat imam Ahmad bin Hambal” sampai saat ini belum mendapat penjelasan yang pas dan komplit  walaupun sudah melihat kitab Tabaqatul Hanabilah, (1/42, 241,194,311, 329, 342).


 
Hadist Nabi : Sebaik – baiknya penguasa diantara kalian adalah yang mana kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian. Dan kamu selalu membai’atkannya kepada mereka dan mereka selalu membai’atkanya kepada kalian. Dan sejelek – jeleknya penguasa diantara kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian. Dan kalian selalu melaknati / mencela mereka dan mereka selalu melaknati kalian. Para sahabat bertanya : Ya Rasullullah, Kalau ada pemimpin yang jelek seperti itu apakah kita boleh mengangkat senjata memerangi mereka ? , Nabi bersabda : Jangan , selama mereka menegakkan sholat ditengah – tengah kalian , selama mereka menegakkan sholat ditengah – tengah kalian. Barang siapa yang dikuasakan kepadanya seorang penguasa, kemudian dia melihat penguasa itu melakukan kemaksiatan kepada Allah , maka bencilah kemaksiatan yang dilakukan kepada Allah itu dan janganlah kalian mencabut ketaatan barunya.

Jadi kudeta / perebutan kekuasaan jika lakukan di Negara yang mayoritas muslim, atau dipimpin oleh orang muslim adalah tidak dibenarkan. Dalam fatwa para ulama (yang tercantum dalam buku “Fatwa – fatwa Ulama  tentang persoalan Kontemporer yang menjadikan Huruhara Sebuah Negara) ketika menjawab pertanyaan : bolehkan rakyat melakukan kudeta kepada penguasa yang jahat ? Para ulama menjawab : Tidak boleh, karena nanti akan mendatangkan madzarot yang lebih banyak, kecuali ketika ada dua persyarat , yaitu :
1.      Penguasa itu talah melakukan kekhufuran (yang jenis – jenis kekhufurannya telah disepakati oleh para ulama / tidak menimbulkan perdebatan diantara ulama/ulama sepakat bulat), juga dia tahu itu kekhufuran dan dilakukan dengan sengaja dan sudah ada yang memperingatkan, tetapi dia masih terus melakukan kekhufuran itu.
2.      Memiliki kemampuan untuk merubah keadaan dengan meniadakan kemadzarotan yang muncul atau tidak mendatangkan kemadzarotan bagi masyarakat luas.
Dalam catatan sejarah, Ibnu Taymiyah merupakan orang yang tegas dan keras dalam masalah agama. Ketika Negara diserang bangsa Tartar dari Mongolia, Ibnu Taimiyah tidak melakukan kudeta, tetapi tunduk pada penguasa atau dibawah komando pengusasa untuk melawan tentara  Tartar. Padahal kalau beliau melakukan kudeta adalah sangat memungkinkan, karena beliau memiliki kekuatan, tapi beliau tidak melakukan karena melihat dampak buruk yang akan terjadi dimasyarakat.
Para ulama juga sepakat, dinegara yang tidak bergejolak atau tidak dalam keadaan perang, maka bom bunuh diri adalah tidak boleh dan bukan amalan mencari sahid, tetapi amalan mencari mati.
Kesepakatan para ulama yang tidak memperbolehkan kudeta terhadap pemimpin muslim di ingkari oleh tiga golongan, yaitu  Al Zuwadiah (syi’ah), Kuwarij dan Mu’tazilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar